23 Nov 2015

Cerpen

Balada Cinta Tian

Sesekali kugerak gerakkan kaki dengan kesal. Rasanya luar biasa pegal sudah, padahal jam baru menunjukkan pukul 8 malam dan itu berarti masih dua jam lagi aku harus berdiri sambil memasang tampang anggun dan tersenyum ramah. Sial!

Yap sudah 13 hari kuhitung semenjak memutuskan magang sepagai SPG event di mall terbesar di kotaku. Meski sudah hampir dua minggu tapi aku masih juga belum terbiasa dengan pekerjaan ini, belum nyaman, masih begah. Dan masih setengah sembilan. Sial!

Mall bukannya makin sepi tapi malah tambah sesak. Orang - orang borjuis itu, yang bisa menghabiskan 1 juta hanya untuk membeli celana dalam tersenyum riang dengan teman segengnya berjalan kesana kemari menghamburkan uang. Bukannya sinis, aku hanya sedang pegal, kalau suasana hatiku baik maka baik hatilah aku. Nah itu ada pelanggan datang.

“Mari silahkan” sapaku dengan senyum manis yang tulus.
“Mari silahkan bonus” mantraku dalam hati.

~~

Malam sudah larut, meski begitu kuputuskan untuk mampir ke rumahnya. Lampu masih menyala terang benderang meski kebanyakan rumah tetangga kiri kanan sudah gelap. Dia duduk di ruang tengah sedang fokus bermain game di monitor, sambil lalu menyapaku datang.

“Hai, sudah pulang?”
“Hm ..” sapaku asal sambil menghapus make up di wajah. Kurebahkan sebentar tubuh di sofa, kesal.

Beberapa saat berlalu.
“Aku pulang saja” kataku sambil mengambil tasku dengan kasar dan langsung beranjak keluar ruangan. Untungnya dia menyusulku.
“Kenapa? Kenapa buru - buru?”
“Aku capek” kulepaskan tangannya dengan kasar. Kulirik jam tangan, sudah pukul 11 malam.
“Kenapa pulang buru - buru? Kamu marah?”
“Aku capek” jawabku asal sambil menghidupkan motor. Wajahnya mulai panik. Tapi kemudian motor kunyalakan dan berlalu. Meninggalkannya mematung. Dia mengirimku beberapa pesan tanda dia mengkhawatirkan aku. Dan aku yang lelah, memilih tidur.

~~

Waktu menunjukkan pukul 7 pagi ketika aku bangun. Dengan setangah hati lekas bersiap mandi dan make up. Hari ini perjuangan terakhir akan kulakukan. Hari ke 21 dan semuanya akan kembali normal. Aku akan bisa dengan tenang melanjutkan kuliah dan menunggu gaji turun. Senyumku akhirnya bisa sedikit merekah. Kamar sepanjang rumah kos sepi. Kebanyakan penghuninya sudah berangkat kuliah meski beberapa masih sibuk dengan bantalnya.

Kantor sudah ramai dengan aktivitas masing - masing. Kurapikan make up ku dalam diam sambil sesekali memainkan handphone. Tian masih belum menghubungiku setelah semalam. Kuduga dia masih tertidur. Segera ku songsong hari. Dengan harapan agar segera usai.

Beberapa kenalan selama masa kerjaku yg singkat ini sudah hadir. Kupijakkan kaki dengan kuat. Bersiap berdiri selama 7 jam kedepan. Sambil memasang senyum.

“Mari silahkan”
“Semoga hari ini lekas berlalu” doaku dalam hati.

~~

Kulirik jam tangan sambil menata barang - barang dalam karung besar. Sudah jam 11.30 dan masih harus mengangkut berkarung - karung barang dalam gudang. Sial!

Yap hari ini usai sudah segala penyiksaan kaki sebagai SPG. Event yang hanya berjalan 3 minggu serasa sudah kujalani bertahun - tahun. Bahkan aku sudah lupa berapa pertemuan kuliah yang kulewatkan demi mencari sesuap uang makan ini.

“Hei Ta. Ayo .. Ngelamun aja”

Aku terkaget dan segera merampungkan pekerjaan ini. Membawa semua barang bazar ke dalam gudang. Hanya berdua dengan partner yg cerewet dan sok senior. Berjalan sambil menyeret berkarung karung pakain keluar masuk mall. Sial! Kenapa para lelaki itu cuma melihat sambil melongo.

Rasanya persendian sudah rontok. Hak sepatu juga sudah hampir patah. Ah setidaknya besok aku tak usah kesini lagi. Ku turuni tangga sambil memainkan handphone. Berharap Tian sudah menghubungiku lagi setelah semalam kuabaikan. Beberapa sms muncul dan satu panggilan tak terjawab. Semua dari Tian. Aku tersenyum lega dan langsung menuju ke rumahnya.

“Hei kau sudah datang” ujarnya menyambutku sambil tersenyum.
Kujawab dengan senyuman dan lekas merebahkan diri di kursi tamu.
“Sayang .. Dimana cincinmu?” perlahan dia duduk di sampingku. Memijit pelan telapak kaki.
“Ada di dalam tas. Aku lupa belum memakainya lagi setelah kerja”
Dia menganguk mengerti. Memang sudah kujelaskan jika aku tak boleh memakai perhiasaan saat bekerja.
“Mamahmu sudah tidur?
“Iya. Lagipula ini kan sudah jam 12 lewat. Mama jam 10 juga pasti sudah tidur”
Aku tersenyum menanggapinya.
“Ayo makan”
“Apa kau memasak?”
“Ah tidak. Maksudku makan diluar. Kamu pasti lapar sehabis kerja”

Aku mengiyakan dan kami bergegas
Sepanjang jalan di dekat rumahnya memang masih ada beberapa pedagang yang menggelar warung tenda. Makananya juga bermacam - macam. Kami berhenti di warung nasi goreng terdekat dan segera memesan. Sambil menunggu aku melihat dia memainkan handphone aku. Aku terdiam sambil menatap lalu lalang.
Beberapa saat dia memecah keheningan.

“Sayang .. Aku minta maaf soal kemarin”
“ Minta maaf untuk apa?” kutatap matanya dalam dalam
“Karena udah bikin kamu marah”
“Jadi nenurutmu kenapa aku marah?”
Dia terdiam. Kujawab dengan tarikan nafas kesal. Dia memang baru menyadari segala sesuatunya jika aku sudah marah. Kami sama” diam hingga pesanan datang.
“Ini hari terakhirku kerja”
Dia tersenyum menatapku. “Syukurlah. Lalu kapan akan menerima gaji?”
“Masih lama. Mungkin bulan depan.”
Dia menganguk dan meneruskan makan.
“Kau benar” kaya ya bulan ini. Honormu menang lomba menulis kemarin juga akan cair bulan ini kan”
Aku menganguk. “Meski aku sangat menyesal mengambil pekerjaan freelance SPG kali ini. Lain kali tak akan kuterima”
“Betul juga. Kasian kamu. Apalagi kuliah jadi terabaikan”.
“Habisnya kamu nggak mau kerja” jawabku asal.
Dia hanya memamerkan senyumannya sebagai jawaban. Dasar
Kami makan dalam diam hingga usai. Ku nikmati makanan sambil memandang lalu lalang jalan.
“Sayang .. Sudah?”
Aku mengangguk. Dia membuat isyarat melihat ke kasir.
“Cowok ini!” keluhku dalam hati. Dan bergegas ke kasir dengan menahan kesal. Jam sudah menujukkan pukul 1 dinihari.

Kami meninggalkan warung tenda dalm diam. jalanan sudah lengang. Hanya sesekali kendaraan lewat memecah keheningan.
“Sayang?”
Aku diam saja. Masih kesal karena harus membayar.
“Kamu kenapa? Marah lagi?”
Aku masih membisu.
“Sayang kamu kenapa? Aku minta maaf kalau aku salah”
Aku berhenti melangkah.
“Kamu salah apa?”
Dia memibisu.
“Kamu salah apa? Kenapa minta maaf? Jangan minta maaf kalau kamu nggak tau salahmu apa.” jawabku kesal. Meski masih menahan nada suara.
“Karena kamu yg bayar ya?”
Aku diam saja. Kembali berjalan.
“Kan memang aku tadi cuma nemenin kamu. Wajar dong kamu yg bayar. Lagipula kamu tau aku nggak punya uang”
Aku berjalan makin cepat. Sambil berusaha menyeka air mata. Kami sudah sampai di depan rumahnya.
“Sayang maafin aku”
“Aku mau pulang” ucapku
Dia berdiri di depan motorku, menghadang.
“Kamu kenapa nanngis? Kamu nggak boleh pulang kayak gini”
“Aku capek. Aku mau pulang” sahutku semakin kesal. Rasa lelah yang seharian kutahan menumpuk selama hampir 3 minggu bekerja ditambah kekesalan sikapnya benar - benar membuat frustasi.

Dia kemudian menunduk dan menyingkir perlahan. Kunyalakan motorku dan bergegas menghilang. Padahal sudah dini hari. Dia bahkan tak berniat sama sekali mengantarku. Air mataku semakin deras. Mengalir seiring terpaan angin pagi buta.

~~

Dia mengirmiku banya pesan keesokan harinya. Dengan enggan kuabaikan saja semuanya dan bergegas menuju kampus. Hari ini aku akan memulai ritinitas normalku menjadi penimba ilmu. Dan dia sudah menunggu tepat di depan kelas. Dengan wajah sendunya.

“Hari ini kita akan praktik merekam di outdoor. Sayang, kamu sama aku ya?”

Aku terbengong dan hanya melongok ke dalam kelas. Teman – teman lain sudah bersiap hendak meninggalkan kelas untuk praktikum di lapangan. Ku baca pengumuman sekilas dan langsung mengiyakan tawaran Tian. Memangnya akan dengan siapa lagi aku berkelompok sedangkan sudah 3 minggu aku tak mengikuti kelas teori.

Kami berdua akhirnya bergabung dengan satu kelompok lain dan berangkat berempat ke lokasi yg sudah kami sepakati. Di pantai yg sekitar 1 jam perjalana. Kami sepakat akan mengerjakan tugas sambil bermain meski itu artinya aku harus menahan rasa marahku ke Tian. Dia hanya senyum - senyum senang melihat aku yang tak bisa berkutik dengan kemarahanku.

Dengan terburu - buru kami mengerjakan tugas agar masih banyak waktu untuk bermain di pantai. Langit nampak mendung menggantung. Sedikit menyeramkan namun menguntungkan karena cuaca tak begitu panas.
Tian mengajakku bermain air. Namun belum sampai kami di air dangkal. Hujan mengguyur. Yap! Hujan mengguyur. Sontak kami lari kocar - kacir mencari tempat berteduh. Aku terpaksa basah kuyup mengorbankan jaket yg kukenakan untuk menutupi kamera. Sampai di tempat berteduh serupa bungalo yang sudah ramai digunakan orang lain juga sebagai tempat berteduh.

“Sayang bajumu basah kuyup” Tian berseru mengagetkan.
“Iya aku tau” sambil berusaha membersihkan pasir yang menempel. Aku melihat kesekitar. Banyak orang yang menjual kaos oblong dengan harga sangat murah. Aku mulai berpikir untuk membelinya. Kurogoh tasku mencari dompet.
“Sayang. Aku nggak bawa dompet” seru ku kesal. Tian yang terkejut ikut mencari ke dalam tasku.
“Aku bawa kok sayang. Kamu memangnya mau beli apa?” katanya santai sambil mengayunkan dompetnya di depanku.
“Kamu bawa uang banyak?” tanyaku spontan.
Di dalamnya hanya berisi 3 lembar 5 ribuan. Aku tertawa melihatnya.
“Memangnya pernah kamu bawa uang banyak.” Seruku sambil menahan tawa.
Tian hanya ikut tertawa kecil “Memangnya kamu mau beli apa sayang?”
“Kamu tak lihat bajuku basah kuyip behini. Tentu saja membeli baju”
Tian mengangguk dan menyerahkan dompetnya kepadaku. Aku langsung mengembalikannya.
“Uangmu akan habis kalau kubelikan baju. Nanti kalau butuh apa - apa kita tak bisa membelinya”.
Tian diam saja dan meberikan jaketnya yang masih setengah kering kepadaku. Aku memakainya sambil menahan dingin. Kami membeku bersama hujan sore itu.
Dan tau - tau dia membawa minuman bersoda. Aku bertanya pelan kepadanya.
“Tian kamu dapet dari mana itu? Yang kamu minum?”
Tian memandangku. “Aku membelinya. Kamu mau?”
“Kamu lupa aku nggak bisa minum soda?”
Tian tertegun. Aku mulai tak bisa menahan ekspresi kecewaku.
“Tian aku kedinginan dan kamu malah memilih beliin uangmu buat nyenengin diri kamu sendiri?”
Tian mulai paham jika gelagatku akan marah.
“Sayang .. Em ..”
Aku mulai terduduk sambil memeluk lutut. Berusaha menahan agar isakanku tak terdengar orang lain. Duh kekasih macam apa yang kupunya ini. Aku meratapinya terus menerus dalam hati. Tian berusaha membujukku untuk tenang. Namun aku tak menggubrisnya. Aku lelah dengan semua kelakuan konyolnya ini. Muak!
“Sayang ini pakailah” Tau – tau Tian sudah menyodorkan pakaian baru dalam plastik ke depanku.
“Ha?” aku masih bingung.
“Ini pakai dan jangan nangis lagi”
“Tapi kamu dapat uangnya dari mana?”
“Aku pinjam ke Ratna. Besok biar ku ganti” jawabnya sambil tersenyum. Manis.. Manis sekali ..

~~

Kami mungkin masih pasangan bau kencur yg sudah bertunangan. Tian mungkin hanya cowok cengeng yg belum minat kerja. Dan aku hanya lebih cepat dewasa ketimbang dia. Tapi kami saling mencintai dengan semua konflik keseharian. Suatu saat nanti mungkin Tian akan menjadi dewasa dan sedikit sedikit mulai mengerti bagaimana cara berkomunikasi dengan wanita, khusunya wanita macam aku. Kami akan belajar. Aku akan belajar bekerja dan kemudian mengajarinya bekerja. Aku akan menjadi penyabar sebagaimana Tian terus mengajariku. Dengan cinta masalah uang akan sedikit demi sedikit kami urai. Karena kami tidak memilih antara cinta atau uang. Kami menyeimbangkannya.

“Sayang lain kali kalau kamu ingin sesuatu, bilang langsung aja ya!” aku tertawa lepas sebagai jawabanya.

TAMAT







Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen "Pilih Mana : Cinta atau Uang?" #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh CekAja.com dan NulisBuku.com


0 komentar:

Posting Komentar

Labels

Popular Posts

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.