Menonton Ilusi seakan ditampar oleh
kenyataan yg sangat dekat tapi tak pernah kita sadari. Apa itu? Imajinasi masa
kecil. Sangat menyenangkan rasanya ketika kita belum menyadari bahwa tertawa
dengan khayalan yang hanya ada di kepala kita sendiri itu tidak memalukan.
Merasa bisa menyelam di dalam laut tanpa harus memikirkan tabung oksigen atau terbang
tanpa tau berapa harga tiket pesawat. Itulah yang sudah kita lupakan, atau
mungkin lebih tepatnya yang sudah saya lupakan. Dikemas dengan jujur, film
Ilusi hadir mengingatkan hal ini kepada kita, para manusia dewasa.
Lusi hidup ditengah keterbatasan tanpa
sosok ayah dan ibu. Dia tumbuh bersama anak-anak lain yang kurang beruntung di
sebuah panti asuhan. Namun rasa rindu terhadap kasih sayang orang tua tak
membuatnya meratap dan bersedih. Lusi melewati hari-harinya dengan bahagia lewat
mimpi-mimpi dan imajinasi yang dia rajut. Meski begitu, ada saja orang dewasa
yang tak bisa memahaminya.
Film garapan Sito Fossy Biosa ini jauh
dari kata mewah, saya masih menemukan pencahayaannya tidak sempurna, atau
dialog yang kaku selayaknya film indi yang diproduksi dengan berbagai
keterbatasan. Namun penggambaran imajinasi khas anak-anak sangat pas dan
lagi-lagi.. jujur, membuat film ini terasa dekat ketika ditonton. Mengingatkan
kita akan suatu masa ketika berada di usia Lusi.
Melihat
film ini saya menyadari suatu lingkaran setan bahwa seringkali dengan
menggunakan kekuasaan orang dewasa, anak
kecil yang penuh imajinasi kemudian di tuntun bangun dari dunianya untuk
menjadi "dewasa" yang kemudian membangunkan anak kecil lain dan
seterusnya dan seterusnya. Padahal dengan berbekal mimpi, kita bisa hidup
bahagia di tengah segala kekurangan seperti sosok Lusi, dengan bermimpi kita
bisa memiliki suatu hal untuk diwujudkan sehingga tidak sekedar tumbuh dewasa
dan menjadi mesin pemenuh kebutuhan yang tidak ada habisnya.
0 komentar:
Posting Komentar